Postingan

Live, Love, Share. ❤️

Silent Battle

Gambar
  “ To the brave warrior who fights a silent battle every day,  and still finds the strength to stand today. ” Some battles are fought without swords, without screams, without anyone noticing. Yet those battles are real, valid—because you feel them. And perhaps, it’s exactly because only you can feel them… that makes you special. Silent battles can take many forms.  For some, it’s the weight of anxiety that makes every heartbeat feel like a warning.  For others, it’s the quiet ache of loneliness, or the pressure to look fine when inside everything feels uncertain.  These struggles don’t always leave scars on the skin, but they leave marks on the soul. And because they are unseen, they are often misunderstood, dismissed, or overlooked. Carrying a silent battle often feels like walking through a crowded room with an invisible wound.  No one notices, yet every step aches.  You laugh, you work, you show up, but inside there’s a heaviness you can’t quite pu...

Karena Aku Layak untuk Pulih

Gambar
  Aku pernah menulis demi menyelamatkan diri. Bukan untuk dipublikasikan, bukan untuk dibaca siapa-siapa. Tapi semata-mata agar aku bisa tetap hidup. Waktu itu, yang terus menerus bergema di kepalaku adalah satu hal: bunuh diri . Aku tidak sedang mencari simpati.  Aku hanya ingin jujur—bahwa ada saat di mana rasanya semua pintu tertutup, dan yang tersisa hanya kegelapan yang membungkus rapat kepala dan dada.  Dan dalam gelap itu, aku duduk sendiri, dengan pulpen ditangan dan sebuah notes kecil. Di situlah aku menuliskan segala kemungkinan yang terpikirkan. Bagaimana jika aku pergi dengan cara ini? Apa dampaknya kalau aku memilih cara itu? Siapa yang akan menemukanku? Apakah mereka akan terluka? Apakah mereka akan kecewa? Aku pikir menulis semua itu akan membuatku semakin mantap mengambil keputusan. Ternyata tidak. Saat aku menuliskan segala dampaknya… aku sadar bahwa aku tidak hanya meninggalkan dunia, aku meninggalkan luka yang akan diwariskan ke orang-orang ...

Waktu Tidak Menyembuhkan Semua, Tapi Membentuk Kita Jadi Siapa

Gambar
  “Waktu akan menyembuhkan segalanya,” katanya. Tapi tidak semua rasa hilang.  Tidak semua kenangan pudar. Dan ternyata, itu tidak apa-apa. Ada masa-masa di mana aku duduk sendiri, diam dalam sepi yang tidak bisa dijelaskan. Aku tidak sedang marah, tidak juga menangis. Tapi hatiku terasa seperti sedang memeluk sesuatu yang tidak bisa kuletakkan. Orang-orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi seiring berjalannya hari, aku mulai menyadari satu hal: waktu tidak benar-benar menyembuhkan segalanya. Ia tidak menghapus jejak, tidak menambal setiap luka, tidak selalu membawa kelegaan. Yang waktu lakukan adalah memberi ruang . Ruang untuk kita memahami. Ruang untuk merasakan. Ruang untuk belajar berdiri lagi, dengan luka yang mungkin masih terasa—tapi tidak lagi mengendalikan segalanya. Waktu Adalah Musim, Bukan Obat Waktu bukanlah penyembuh ajaib. Ia seperti musim. Ada masa gugur, masa kering, masa hujan, masa mekar. Kita tidak bisa memaksa tumbuhan berbunga di tengah musim dingi...

Belajar Merelakan

Gambar
  "Terkadang yang tak memilih kita, adalah jalan semesta menjaga nilai kita." Aku pernah merasa diabaikan,   tidak dianggap,   mudah dilupakan,   tidak berarti. Tapi kemudian aku baru menyadarinya sekarang…   Mungkin, inilah jalan Allah menunjukkan,   bahwa yang bukan takdirku, bukan levelku,   tidak akan mampu melihatku. Melihat seberapa berharganya diriku,   seberapa kerennya diriku,   seberapa unik dan menyenangkannya diriku… Karena seseorang hanya mampu melihat sesuatu   yang berada pada level mereka—   pada level pemahaman mereka,   pada level kedewasaan hidup mereka,   pada level empati dan kemanusiaan mereka. Hari ini aku belajar bahwa melepaskan bukan tentang kalah, tapi tentang memeluk diriku sendiri lebih erat. Semoga puisi ini bisa menjadi pelukan hangat untukmu yang sedang belajar merelakan. #puisi #refleksi #selfworth #healing #selflove #merelakan

Ragu dan Khawatir: Tanda Bahwa Kita Masih Hidup

Gambar
  Ada kalanya kita merasa ragu. Ragu terhadap keputusan yang sudah kita buat, ragu pada orang yang kita percaya, atau ragu pada diri kita sendiri. Keraguan sering kali datang setelah kita pernah kecewa, disakiti, dikhianati, atau merasa gagal. Ia seperti refleks alamiah yang tumbuh dari pengalaman, mengingatkan kita agar tidak jatuh pada lubang yang sama. Tapi sering kali, kita merasa bersalah karena ragu. Kita mempertanyakan, “Kenapa aku nggak bisa percaya sepenuhnya?” Padahal, ragu itu bukan tanda kelemahan. Sebaliknya, ia bisa jadi bentuk kehati-hatian. Sebuah mekanisme pertahanan diri yang dibentuk oleh luka-luka yang pernah ada. Dan iya—perasaan itu valid. Begitu juga dengan khawatir. Kekhawatiran bisa datang dari banyak hal: rasa takut akan hal yang belum terjadi, trauma dari masa lalu, atau bahkan dari cinta yang begitu dalam. Kadang kita terlalu keras pada diri sendiri, menganggap rasa khawatir sebagai penghalang. Padahal, ia juga bagian dari proses memah...