Ragu dan Khawatir: Tanda Bahwa Kita Masih Hidup

 



Ada kalanya kita merasa ragu.
Ragu terhadap keputusan yang sudah kita buat,
ragu pada orang yang kita percaya,
atau ragu pada diri kita sendiri.

Keraguan sering kali datang setelah kita pernah kecewa, disakiti, dikhianati, atau merasa gagal.

Ia seperti refleks alamiah yang tumbuh dari pengalaman,
mengingatkan kita agar tidak jatuh pada lubang yang sama.

Tapi sering kali, kita merasa bersalah karena ragu.
Kita mempertanyakan,
“Kenapa aku nggak bisa percaya sepenuhnya?”
Padahal, ragu itu bukan tanda kelemahan.
Sebaliknya, ia bisa jadi bentuk kehati-hatian.
Sebuah mekanisme pertahanan diri yang dibentuk oleh luka-luka yang pernah ada.

Dan iya—perasaan itu valid.


Begitu juga dengan khawatir.

Kekhawatiran bisa datang dari banyak hal:
rasa takut akan hal yang belum terjadi,
trauma dari masa lalu,
atau bahkan dari cinta yang begitu dalam.

Kadang kita terlalu keras pada diri sendiri,
menganggap rasa khawatir sebagai penghalang.
Padahal, ia juga bagian dari proses memahami apa yang benar-benar kita pedulikan.

Setiap rasa itu punya akar.
Dan akar itu tumbuh dari pengalaman hidup kita.
Jadi wajar saja kalau kita merasa cemas,
wajar kalau kita kadang merasa takut.


😟


Ragu dan khawatir adalah dua sisi yang membuat kita lebih "manusia".
Kalau kita masih bisa merasakan keduanya,
itu pertanda bahwa hati kita masih bekerja,
bahwa kita belum mati rasa.

Dan justru dari sanalah kita bisa belajar—
untuk tetap tumbuh, walau dengan langkah pelan.
Untuk tetap percaya, walau sempat terluka.
Untuk tetap mencintai, walau pernah ditinggalkan.

Kamu nggak harus selalu kuat.
Kamu cuma perlu jujur dengan perasaanmu.

Karena perasaan itu bukan musuh.
Mereka adalah pertanda bahwa kamu masih hidup.

Dan itu sudah lebih dari cukup. 🤍



Kalau kamu sedang merasakan keraguan atau kekhawatiran, peluk dulu dirimu.
Tulis di kolom komentar: Apa yang sedang kamu rasakan hari ini?
Kita semua sedang belajar jadi manusia seutuhnya — bersama-sama.