Karena Aku Layak untuk Pulih

 

Aku pernah menulis demi menyelamatkan diri.
Bukan untuk dipublikasikan, bukan untuk dibaca siapa-siapa.
Tapi semata-mata agar aku bisa tetap hidup.

Waktu itu, yang terus menerus bergema di kepalaku adalah satu hal:
bunuh diri.


Aku tidak sedang mencari simpati. 

Aku hanya ingin jujur—bahwa ada saat di mana rasanya semua pintu tertutup, dan yang tersisa hanya kegelapan yang membungkus rapat kepala dan dada. 

Dan dalam gelap itu, aku duduk sendiri, dengan pulpen ditangan dan sebuah notes kecil.

Di situlah aku menuliskan segala kemungkinan yang terpikirkan.
Bagaimana jika aku pergi dengan cara ini? Apa dampaknya kalau aku memilih cara itu? Siapa yang akan menemukanku? Apakah mereka akan terluka? Apakah mereka akan kecewa?


Aku pikir menulis semua itu akan membuatku semakin mantap mengambil keputusan.
Ternyata tidak.
Saat aku menuliskan segala dampaknya…
aku sadar bahwa aku tidak hanya meninggalkan dunia,
aku meninggalkan luka yang akan diwariskan ke orang-orang yang mencintaiku.

Aku membayangkan jasadku ditemukan.
Aku membayangkan ibuku menangis.
Aku membayangkan temanku yang merasa bersalah karena tak pernah tahu aku seputus asa itu.


Dan dari tulisan-tulisan itu, perlahan pikiranku berubah arah.
Ternyata, aku hanya ingin rasa sakit ini berhenti.
Aku tidak benar-benar ingin mati.


Lalu, aku menuliskan satu kalimat yang mengubah segalanya:

“Bunuh diri tidak menyelesaikan masalahku. Aku mau bertahan dan menyelesaikan semua ini. Karena aku layak untuk pulih.”


Menulis menjadi ruang amanku.
Kebiasaan kecil yang terus kuulang, bukan karena aku ingin jadi penulis hebat,
tapi karena setiap kali aku menulis, aku merasa sedikit lebih ringan.
Kepalaku jadi lebih jernih.
Hatiku jadi lebih tertata.


Lama-lama, menulis bukan hanya cara untuk menyelamatkan diri—tapi juga jalan untuk mengenal diriku lebih dalam.
Ternyata, aku tidak selemah yang kukira.
Aku hanya lelah.
Dan itu bisa dipulihkan.


Sekarang, jika kamu yang membaca ini sedang berada di titik paling rendah dalam hidupmu…
aku ingin kamu tahu satu hal:
menulis bisa menjadi pintu kecil menuju cahaya.


Kamu boleh menulis apa pun yang kamu rasakan.
Nggak perlu rapi, nggak perlu puitis.
Cukup jujur.



Karena saat kamu mulai menuliskan apa yang terasa menyakitkan,
kamu sedang membuka ruang untuk sesuatu yang bisa menyembuhkan.

Dan jika tak ada yang pernah bilang ini padamu:
Kamu layak untuk bertahan. Kamu layak untuk pulih.

Aku pernah hampir memilih pergi, tapi aku menulis.
Dan dari situ, aku memilih untuk tetap hidup.