Tentang Bertumbuh Tapi Tetap Merasa Tertinggal
Kadang aku merasa hidup ini seperti perlombaan yang tak pernah benar-benar aku daftari.
Ada garis start yang samar, dan entah bagaimana, semua orang terlihat seperti sudah jauh di depan.
Mereka yang seumuran denganku ada yang sudah menikah, punya anak, punya jabatan, pindah ke luar negeri, atau sudah lulus S2 dan jadi Dosen.
Sementara aku… masih di sini. Masih mencari, masih meraba-raba arah, masih mempertanyakan banyak hal yang seharusnya mungkin sudah kupahami sejak lama.
Lucunya, aku tahu aku bertumbuh. Aku belajar memaafkan. Aku mulai mengenal diriku yang sebenarnya. Aku mulai bicara lebih jujur kepada diri sendiri—tentang luka, tentang batasan-batasan, tentang keinginan yang kutunda demi menyenangkan orang lain.
Aku tahu itu pertumbuhan. Tapi kenapa tetap ada rasa 'tertinggal'?
Apakah mungkin karena dunia ini terlalu terbiasa mengukur segala sesuatu dengan yang bisa dilihat?
Seperti gaji, prestasi, status. Tapi siapa yang mengukur pelajaran yang kudapat setelah malam-malam penuh tangis dalam diam? Siapa yang menghitung keberanian yang kubutuhkan untuk bangun dari keterpurukan? Siapa yang tahu betapa besar langkah kecilku, walau hanya dalam bentuk menyapa diri di cermin dan berkata, "It's okay... You're enough."
Aku pernah merasa malu saat teman-temanku bercerita tentang pencapaian mereka, dan aku hanya tersenyum tanpa bisa membalas. Tapi hari ini, aku ingin berkata: Aku juga tumbuh.
Meskipun tak semua orang bisa melihatnya.
Aku belajar mencintai diriku meski belum sepenuhnya sembuh.
Aku belajar berkata tidak. Aku belajar menerima bahwa kecewa juga bagian dari perjalanan.
Ternyata, bertumbuh bukan soal cepat-cepat sampai.
Tapi tentang bertahan.
Tentang berjalan, meski pelan.
Tentang bangun lagi, bahkan ketika tubuh dan hati belum sepenuhnya pulih.
Hari ini aku masih belum sampai.
Tapi aku tidak lagi merasa seburuk dulu.
Karena sekarang aku tahu, aku sedang dalam perjalanan. Dan itu juga layak untuk dihargai.
