Suara yang Mencari Ketenangan
Malam Antara Sepi dan Sunyi
Malam datang lagi—sepi, tapi tak pernah benar-benar sunyi.
Di dalam kepalaku, suara-suara mulai berbicara.
Bukan teriakan… hanya bisikan lembut yang melelahkan.
“Kenapa kamu selalu gagal?”
“Orang lain sudah jauh melangkah, kamu masih di sini.”
“Mungkin kamu memang tidak cukup baik…”
Aku diam. Duduk di ujung ranjang, menatap bayangan sendiri di cermin kecil yang tergantung di dinding.
Rasanya seperti tenggelam, tapi tak ada air.
Seperti berlari, tapi tak tahu arah.
Aku lelah.
Tapi yang paling melelahkan… adalah berperang dengan pikiran sendiri.
Lalu ada suara lain—pelan, nyaris hilang:
“Boleh nggak... aku tenang sebentar saja?”
Dan malam pun terus berjalan, membawa aku pada pertanyaan yang selama ini kutunda:
Bagaimana caranya merasa damai, jika musuhnya adalah diri sendiri?
Aku pikir, overthinking itu datang karena hal besar.
Tapi nyatanya...
Kadang cuma dari satu chat yang belum dibalas.
Satu tatapan orang yang terasa berbeda.
Satu kesalahan kecil yang terus diulang di kepalaku,
seperti kaset rusak yang tak pernah dimatikan.
Pikiranku seperti ruang tanpa jendela.
Gelap, sempit, dan gema dari suara-suara lama yang belum selesai.
Aku mencoba mengalihkannya.
Scroll media sosial, lihat video bayi atau kucing yang lucu, putar lagu, pura-pura sibuk.
Tapi pikiran ini tetap punya caranya sendiri untuk kembali.
“Kamu lemah.”
“Kamu nggak boleh capek, nggak boleh ngeluh, orang lain jauh lebih susah dari kamu.”
“Kamu harusnya bisa lebih baik.”
Kadang... aku bingung, mana suara yang sebenarnya milikku,
dan mana yang tumbuh dari luka-luka lama yang tak pernah sembuh.
Aku ingin tenang, tapi pikiranku tak percaya aku pantas mendapatkannya.
Dan itulah perang yang paling sunyi—saat kamu jadi tahanan di dalam dirimu sendiri.
...
Malam belum berlalu.
Tapi kali ini, aku berhenti mencoba kabur dari pikiranku sendiri.
Aku duduk lebih tenang, menarik napas perlahan.
Bukan karena rasa cemasnya hilang…
tapi karena aku mulai lelah terus menghindar.
Lalu tanpa direncanakan, aku berkata—nyaris berbisik:
“Aku capek…”
Hanya dua kata. Tapi seperti membuka pintu yang lama terkunci.
Untuk pertama kalinya, aku tidak memaksa diri untuk kuat.
Tidak menyuruh diri sendiri “ayo semangat”, atau “kamu harus bersyukur”.
Aku hanya duduk… dan jujur.
Lalu muncul suara lain—lembut, pelan, dan asing. Tapi akrab.
“Kalau kamu lelah, istirahatlah sebentar. Memberi jeda istirahat bukan berarti kamu menyerah.”
Suara itu tidak menghakimi.
Ia tidak datang dari luar, tapi juga bukan dari tempat yang sama seperti kecemasan.
Mungkin itu suara dari bagian diriku yang lama tak kudengar:
bagian yang ingin sembuh, bukan hanya bertahan.
...
...
"Belajar Berdamai"
Hari-hari setelah malam itu, aku tidak langsung tiba-tiba tenang.
Suara-suara itu masih datang—kadang lebih pelan, kadang tetap berisik.
Tapi sekarang aku mulai tahu: aku tidak harus mempercayai semua yang kupikirkan.
Setiap kali muncul bisikan “kamu gagal”, aku belajar menjawab,
“Mungkin aku belum sampai. Tapi aku sedang berjalan.”
Setiap kali muncul rasa bersalah karena tidak produktif, aku peluk diri sendiri dan berkata,
“Istirahat juga bentuk bertahan.”
Aku mulai menulis hal-hal kecil yang bisa aku syukuri.
Aku mulai bicara lebih pelan pada diriku di cermin.
Kadang cuma satu kalimat:
“Terima kasih sudah bertahan hari ini.”
Afirmasi itu awalnya terasa aneh—seperti kata-kata kosong.
Tapi saat terus kulakukan, pelan-pelan, aku merasa ada yang berubah.
Bukan pikiranku yang tiba-tiba tenang…
tapi caraku meresponsnya.
Dan dari situ aku sadar, ketenangan bukan tujuan yang harus dikejar mati-matian,
tapi ruang yang bisa kita ciptakan… di dalam diri sendiri.
